Senin, 08 Juni 2009

TINJAUAN TERHADAP DESENTRALISASI DAN PEMASARAN SOSIAL PADA BIDANG KESEHATAN


Dalam konteks pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia, faktor yang tidak pasti adalah keinginan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi dengan sepenuh hati. Dengan menggunakan kedua kemungkinan tersebut ada 4 skenario yang mungkin: Skenario 1, adalah situasi dimana pemerintah pusat bersemangat untuk melaksanakan desentralisasi, berusaha melaraskan struktur organisasinya dengan pemerintah daerah, dan pemerintah daerah bersemangat pula untuk melakukannya. Skenario 2: terjadi situasi dimana pemerintah pusat (khususnya Departemen Kesehatan) cenderung ingin sentralisasi, sementara pemerintah daerah berada dalam sistem yang semakin desentralisasi; Skenario 3: Pemerintah pusat tidak berkeinginan melakukan desentralisasi di bidang kesehatan. Demikian pula pemerintah daerah. Akibatnya terjadi perubahan UU (amandemen UU 32/2004) sehingga kesehatan menjadi kembali menjadi sektor yang sentralisasi; dan Skenario 4: Pemerintah pusat (Departemen Kesehatan dan DPR) berubah menjadi bersemangat untuk de-sentralisasi, namun pemerintah daerah tidak mau.

Penerapan desentralisasi kesehatan mempunyai sisi kelemahan yaitu pihak eksekutif dan législatif di daerah, dominan menentukan anggaran kesehatan dari pemerintah pusat yang dimasukkan dalam APBD. Artinya penggunaan anggaran, termasuk dana kesehatan, dikompromikan tergantung kebutuhan. Padahal desentralisasi kesehatan sebenarnya merupakan kesempatan bagi daeah. Artinya masalah-masalah di daerah dapat ditangani dan dikoordinasikan lebih cepat, terarah, dan tepat sasaran dari yang dibutuhkan masyarakat

Desentralisasi menjadi penyebab menurunnya tingkat koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan di daerah. "Sebagai contoh wabah kolera yang terjadi di suatu daerah, sampai akhirnya kekurangan obat. Dalam hal ini Dinas Kesehatan daerah tidak langsung melaporkan keberadaan kasus tersebut ke Menteri Kesehatan. Akhirnya Bupati yang langsung meminta ke Menkes. Padahal kalau kekurangan obat cepat dilaporkan ke pusat, penanganan bisa dilaksanakan lebih cepat.

Dengan adanya kebijakan desentralisasi kesehatan maka pemasaran kesehatan sangat diperlukan untuk mempengaruhi pihal lain agar dapat menerima kebijakan tersebut yaitu adanya partnership (kemitraan) dan policy (kebijakan). Pada prinsipnya, praktik pemasaran sosial tak ada artinya apabila kemitraan tidak dijadikan tujuan organisasi. Demikian pula tak ada artinya upaya mengubah perilaku melalui pemasaran sosial apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan upaya mendorong tersusunnya sebuah kebijakan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mengatur akses terhadap informasi pasien untuk tujuan pemasaran baik internal maupun eksternal. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan ini adalah dengan advokasi kepada direksi yang berwenang

Selain itu kita bersikaplah proaktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penggunaan informasi pasien dan ikuti perkembangan mengenai hukum dan peraturan yang berkaitan dengan hal pemasaran dan permintaan kesehatan

Pemasaran itu sendiri terdiri dari tiga unsur utama, yaitu unsur strategi persaingan, taktik pemasaran dan nilai pemasaran. Strategi persaingan berkaitan dengan segmentasi pasar, targeting dan positioning. Taktik pemasaran terdiri dua hal, yaitu diferensiasi dan bauran promosi. Adapun nilai pemasaran berkaitan dengan brand atau merk dari produk yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor – faktor yang mempengaruhi organisasi pelayanan kesehatan harus dipikirkan dengan cermat dan penuh perencanaan, tempat pelayanan kesehatan diminta segera mulai meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam memasarkan pelayanan kesehatan untuk mencapai maksimal keuntungan yang tinggi tetapi dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

Strategi pemasaran sosial kesehatan seperti peningkatan sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas, sosialisasi informasi pelayanan kesehatan (tenaga kesehatan), strategi penentuan harga (penetapan harga yang terjangkau, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan। Hal ini memerlukan kerjasama antar penyedia jasa pelayanan maupun penyedia jasa pelayanan dengan konsumen (pasien) yang baik agar langkah atau pelayanan yang diberikan sebagai suatu produk dapat berhasil dengan cara memperkuat jaringan, menyelesaikan birokrasi program guna memuluskan produk serta mengadakan pendekatan kepada pathner dan sasaran target baik secara informal maupun formal।

Oleh karena itu diperlukan manajemen yang mampu melakuakan tugas-tugas denagan baik dalam melakuakan pemasaran jasa, perencanaan strategi dan pelaksanaan pelayanan kesehatan, penentuan harga, promosi dan distribusi dari gagasan, barang dan jasa untuk membuat suatu pertukaran yang memuaskan individu atau tujuan organisasi dapat tercapai seperti akses pelayanan kesehatan masyarakat di rumah sakit dan puskesmas, harus juga memberikan kepuasan kepada konsumen jika menginginkan usahanya berjalan terus, atau konsumen mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap organisasi dan manajemen penyedia jasa pelayanan kesehatan