Rabu, 16 Desember 2009

PENDEKATAN MANAJEMEN MUTU MENYELURUH (TQM) UNTUK MENINGKATKAN MUTU PELAYANAN KESEHATAN


ANDI TAUFIK AKIB
DESEMBER 2009. MAKASSAR

Peningkatan mutu berarti peningkatan kinerja. Dapat dimulai dari jaminan mutu dan berlanjut pada peningkatan mutu untuk memperoleh kepuasan pelanggan dan kepuasan karyawan dengan mempertimbangkan efisiensi (biaya) itu sendiri. Meningkatkan kinerja berarti meningkatkan mutu pelayanan telah dimulai agar dapat eksis dalam persaingan global.
Dalam peningkatan mutu (Quality Improvement) dikenal beberapa pendekatan seperti Jaminan Mutu (Quality Assurance), gugus kendali mutu (GKM) dan Total Quality Management (TQM). Manajemen Mutu Menyeluruh adalah suatu konsep manajemen yang telah dikembangkan sejak lima puluh tahun lalu dari berbagai praktek manajemen serta usaha peningkatan dan pengembangan produktivitas.
Pada umumnya untuk meningkatkan mutu pelayanan ada dua cara (1) Meningkatkan mutu dan kualitas sumber daya, tenaga, biaya, peralatan, perlengkapan dan material. Dan (2) Memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipergunakan dalam kegiatan pelayanan.     ( Dr. Ridwan Amirrudin, SKM., M.Kes., 2007 ). Dari dua cara tersebut senada dengan konsep manajemen mutu menyeluruh (Total Quality Management) yang membuka jalan menuju paradigma berpikir baru yang memberi penekanan pada kepuasan pelanggan, inovasi dan peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan.
Total Quality Management (TQM) memperkenalkan pengembangan proses, produk dan pelayanan sebuah organisasi secara sistematik dan berkesinambungan. Pendekatan ini berusaha untuk melibatkan semua pihak terkait dan memastikan bahwa pengalaman dan ide-ide mereka memiliki sumbangan dalam pengembangan mutu. Dengan konsep TQM kedua cara untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dapat terwujud, karena pendekatan TQM memilki unsur yang dapat meningkatkan kualitas sumber daya tenaga, biaya, peralatan, perlengkapan dan material. Serta dapat memperbaiki metode atau penerapan teknologi yang dipakai.
Komponen TQM memiliki sepuluh unsur utama (Goetsch dan Davis, 1994, pp. 14-18) sebagai berikut;
1.      Fokus pada pelanggan, pelanggan internal dan eksternal merupakan faktor yang sangat menentukan.. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas manusia, proses, dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.
2.      Obsesi terhadap kualitas, dalam TQM, penentu akhir kualitas adalah pelanggan. Hal ini berarti bahwa semua karyawan pada setiap jenjang berusaha melaksanakan setiap aspek pekerjaannya berdasarkan perspektif "bagaimana kita dapat melakukannya dengan lebih baik.
3.      Pendekatan Ilmiah, untuk merancang pekerjaan dan dalam proses pengambilan keputusan dan pemecahan masalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang dirancang tersebut. Dengan demikian data dan informasi diperlukan dan dipergunakan dalam menyusun patok duga (benchmark), memantau prestasi dan melaksanakan perbaikan termasuk metode dan teknologi yang digunakan.
4.      Komitmen jangka panjang, komitmen jangka panjang sangat penting guna mengadakan perubahan budaya agar penerapan TQM dapat berjalan dengan sukses.
5.      Kerja sama tim, dalam TQM kerja sama tim, atau kemitraan dan hubungan dijalin dan dibina antar pelaku organisasi.
6.      Perbaikan sistem secara berkesinambungan, karena mutu bersifat dinamis maka system yang ada perlu diperbaiki secara terus menerus agar kualitas yang dihasilkan dapat meningkat.
7.      Pendidikan dan pelatihan, merupakan faktor yang fundamental dalam TQM. Setiap orang diharapkan dan didorong untuk terns belajar, karena dengan belajar, setiap orang dalam organisasi dapat meningkatkan ketrampilan teknis dan keahlian profesionalnya (mutu / kualitasnya).
8.      Kebebasan yang terkendali, dalam TQM keterlibatan dan pemberdayaan karyawan dalam mengambil keputusan dan pemecahan masalah merupakan unsur yang sangat penting. Kebebasan yang timbul karena keterlibatan dan pemberdayaan tersebut merupakan hasil dari pengendalian yang terencana dan terlaksana dengan baik. Pengendalian itu sendiri dilakukan terhadap metode-metode pelaksanaan setiap proses tertentu.
9.      Kesatuan tujuan, supaya TQM dapat diterapkan dengan baik, maka organisasi harus memiliki kesatuan tujuan. Akan tetapi kesatuan tujuan ini tidak berarti bahwa harus selalu ada persetujuan/ kesepakatan antara pihak manajemen dan karyawan, seperti halnya teknologi dan metode yang digunakan.
10.  Adanya keterlibatan dan pemberdayaan karyawan, tujuannya pertama, hal ini akan meningkatkan kemungkinan dihasilkannya keputusan yang baik, rencana yang lebih baik, atau perbaikan yang lebih efektif karena juga mencakup pandangan dan pemikiran dari pihak-pihak yang langsung berhubungan dengan situasi kerja. Kedua, keterlibatan karyawan juga meningkatkan "rasa memiliki" dan tanggung jawab atas keputusan dengan melibatkan orang-orang yang harus melaksanakannya.
Selanjutnya Prinsip-prinsip kunci TQM lebih lengkap dijelaskan oleh Hashmi (2004: 2): (1) Komitmen manajemen: perencanaan (dorongan, petunjuk), pelaksanaan (penyebaran, dukungan, partisipasi), pemeriksaan (inspeksi), dan tindakan (pengakuan, komunikasi, revisi). (2) Pemberdayaan karyawan: pelatihan, sumbang saran, penilaian dan pengakuan, serta kelompok kerja yang tangguh. (3) Pengambilan keputusan berdasarkan fakta: stastistical process control, the seven statistical tools (4) Perbaikan berkelanjutan: pengukuran yang sistimetis dan fokus pada biaya non kualitas (cost of non-quality); kelompok kerja yang tangguh; manajemen proses lintas fungsional; mencapai, memelihara, dan meningkatkan standart. (5) Fokus pada konsumen: hubungan dengan pemasok, hubungan pelayanan. Bill Creech, 1996, menyatakan bahwa prinsip-prinsip dalam sistem TQM harus dibangun atas dasar 5 pilar sistem yaitu; Produk, Proses, Organisasi, Kepemimpinan, dan Komitmen.

     
Secara garis besar proses implementasi TQM mencakup: (1) Manajemen puncak harus menjadikan TQM sebagai prioritas utama organisasi, visi yang jelas dan dapat dicapai, menyusun tujuan yang agresif bagi organisasi dan setiap unit, dan terpenting menunjukkan komitmen terhadap TQM melalui aktivitas mereka. (2) Budaya organisasi harus diubah sehingga setiap orang dan setiap proses menyertakan konsep TQM. Organisasi harus diubah paradigmanya, focus pada konsumen, segala sesuatu yang dikerjakan diselaraskan untuk memenuhi harapan konsumen. (3) Kelompok kecil dikembangkan pada keseluruhan organisasi untuk memahami kualitas, identifikasi keinginan konsumen, dan mengukur kemajuan dan kualitas. Masing-masing kelompok bertanggung jawab untuk mencapai tujuan mereka sebagai bagian dari tujuan organisasi keseluruhan. (4) Perubahan dan perbaikan berkelanjutan harus diimplementasikan, dipantau, dan disesuaikan atas dasar hasil analisis pengukuran. Sedangkan Goetsch dan Davis (dalam Tjiptono dan Diana, 2001: 350) menjelaskan implementasi TQM yang lebih rinci dan sistematis ke dalam tiga fase: fase persiapan, fase perencanaan, dan fase pelaksanaan. Setiap fase terdiri atas beberapa langkah dengan waktu sesuai kebutuhan organisasi.
Persyaratan Implementasi TQM, agar implementasi program TQM berjalan sesuai dengan yang diharapkan diperlukan persyaratan sebagai berikut:
1)      Komitmen yang tinggi (dukungan penuh) dari menejemen pun
2)      Mengalokasikan waktu secara penuh untuk program TQM
3)      Menyiapkan dana dan mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas
4)      Memilih koordinator (fasilitator) program TQM
5)      Melakukan banchmarking pada perusahaan lain yang menerapkan TQM
6)      Merumuskan nilai (value), visi (vision) dan misi (mission)
7)      Mempersiapkan mental untuk menghadapi berbagai bentuk hambatan
8)      Merencanakan mutasi program TQM.

Langkah Penerapan TQM meliputi;
1.      Fase Pengembangan Strategik (Fase Inisiasi),
·         Mengembangkan kesadaran para pengmbil keputusan akan pentingnya mutu
·         Mengembangkan kepemimpinan yang mempunyai komitmen pada mutu dan perubahan
·         Menetapkan dan konsisten pada tujuan peningkatan mutu yang menjadi visi organisasi
·         Menyusun rencana startegik (business plan) dan rencana operasional (operational plan) pengembangan mutu
·         Mempersiapkan infrastruktur untuk penerapan proses perbaikan yang berkesinambungan
2.      Fase Transformasi
·         Pemilihan proses-proses (pelayanan) priotritas yang akan ditingkatkan dalam bentuk proyek percontohan
·         Pembentukan kelompok-kelompok kerja yang kompeten terhadap proses-proses tersebut
·         Identifikasi anggota untuk masing-masing kelompok kerja
·         Pelatihan anggota kelompok kerja tentang konsep continous quality improvement  (CQI) dan quality tools
·         Proses dalam kelompok kerja untuk melakukan perbaikan yang berkesinambungan dengan siklus Plan-Do-Check- Act (PDCA)
·         Evaluasi
3.      Fase Integrasi
·         Mengintegrasikan pelaksanaan continous quality improvement (CQI) pada seluruh jajaran organisasi
·         Membentuk dan mempertahankan komitmen terhadap mutu melalui optimalisasi dan proses perbaikan yang berkesinambungan
·         Pelatihan pada seluruh  karyawan
·         Penetapan indikator mutu
·         Pengembangan sistem surveilance dan evaluasi mutu yang tepat
·         Penerapan proses perbakan mutu yang berkesinambungan pada demua unit dan lintas fungsi dengan pembentukan kelompok-kelompok kerja yang mandiri (self directed teams)

Jumat, 13 November 2009

ISU-ISU MENGENAI PERILAKU KONSUMEN PELAYANAN KESEHATAN


Pelayanan kesehatan mempunyai ciri khas yang berbeda dengan pelayanan jasa / produk lainnya, yaitu consumer ignorance / ketidaktahuan konsumen, supply induced demand / pengaruh penyedia jasa kesehatan terhadap konsumen (konsumen tidak memiliki daya tawar dan daya pilih), produk pelayanan kesehatan bukan konsep homogen, pembatasan terhadap kompetisi, ketidakpastian tentang sakit, serta sehat sebagai hak asasi.
Pasien harus dipandang sebagai subyek yang memiliki pengaruh besar atas hasil akhir layanan bukan sekedar obyek. Hak-hak pasien harus dipenuhi mengingat kepuasan pasien menjadi salah satu barometer mutu layanan sedangkan ketidakpuasan pasien dapat menjadi pangkal tuntutan hukum. Beberapa isu - isu terkini mengenai perilaku konsumen pelayanan kesehatan, antara lain;
  1. Masyarakat semakin menyadari hak-haknya sebagai konsumen kesehatan. Sehingga seringkali mereka secara kritis mempertanyakan tentang penyakit, pemeriksaan, pengobatan, serta tindakan yang akan diambil berkenaan dengan penyakitnya., bahkan tidak jarang mereka mencari pendapat kedua (second opinion), Hal tersebut merupakan hak konsumen kesehatan/ pasien berdasarkan Undang-undang no.23/1992 tentang kesehatan yang selayaknya dihormati oleh pemberi pelayanan kesehatan. Memang harus diakui bahwa hak-hak konsumen kesehatan masih cenderung sering dikalahkan oleh kekuasaan pemberi pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, yang memprihatinkan, kekalahan tersebut bisa berupa kerugian moral dan material yang cukup besar.
  2. Banyak pasien yang merasa telah terjadi malpraktik yang dilakukan oleh dokter, Dokter yang tidak memenuhi unsur standar profesi kedokteran. Oleh karena itu perlu informasi yang benar, jelas, dan jujur agar tidak terjadi mis interpretasi antara tenaga kesehatan dengan pasien / keluarganya yang dapat menimbulkan persepsi yang mempengaruhi pelayanan kesehatan. Tenaga kesehatan harus menghormati setiap keputusan pasien dan bila mungkin memberikan alternatif lain serta pertimbangan resiko jika alternatif tersebut dilaksanakan.
  3. Tingkat pelayanan puskesmas kepada masyarakat masih rendah, sehingga banyak pasien ke klinik pengobatan swasta dan pengobatan alternatif karena lebih baiknya pelayanan yang diberikan di kota-kota besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya dan ibukota Propinsi lainnya.
  4. Perilaku konsumen puskesmas juga dipengaruhi oleh citra (image) Puskesmas masih kurang baik dalam mutu pelayanan maupun dari performance fisik bangunan. Dinilai belum seluruhnya puskesmas mengoptimalkan fungsi tenaga medis, para medis yang memiliki daya saing dan professional di bidangnya, sosialisasi kurang menyeluruh dan program layanan yang dikembangkan hanya bersifat seadanya dan kurang bermasyarakatsehingga Image yang dibentuk bahwa puskesmas hanya diperuntukan bagi kaum ekonomi lemah.
  5. Pelanggan / konsumen kesehatan lebih suka menyampaikan keluhan mereka kepada media massa karena keluhannya akan cepat mendapat feedback. terutama keluhan yang berdampak pada tuntutan hukum atau adanya komentar pihak ketiga terhadap keluhan tersebut. Keluhan pelanggan yang disampaikan kepada media massa, disamping menyebarkan berita buruk, ada juga yang sifatnya minta kompensasi atau keadilan dari pihak rumahsakit. Diharapkan dengan pemberitaan ini ada pihak-pihak yang peduli terhadap keluhan yang disampaikan pelanggan dan bersedia memberikan bantuan. Pihak-pihak yang peduli terhadap keluhan ini diantaranya ialah lembaga swadaya masyarakat.
  6. Mayoritas pasien merasa tidak puas terhadap pelayanan rawat inap yang diberikan Rumah Sakit Umum pada dimensi keandalan, meliputi cara prosedur penerimaan dan pelayanan pasien yang sederhana (tidak berbelit-belit) dan lebih tepat dalam menjalankan jadwal pelayanan (tidak terlambat/ molor). Selain itu mutu dan ketrampilan para dokter dan perawat perlu ditingkatkan lagi. Hal ini mengakibatkan banyak konsumen pindah atau tidak menggunakan ulang jasa pelayanan rawat inap di rumah sakit yang sama.
  7. Masih adanya diskriminasi terhadap pasien askes dan askeskin. Pelayanan yang diskriminatif terhadap pemegang askes sebenarnya tidak beralasan dan tidak perlu terjadi, karena selama ini mereka membayar kewajibannya dengan baik, hanya saja tidak melalui kasir di rumah sakit, tetapi melalui penarikan iuran askes setiap bulan. Begitu pula untuk pemegang Askeskin padahal mereka sudah dijamin oleh pemerintah, di antaranya dalam hal penghitungan biaya perawatan di rumah sakit, dan ketidakterbukaan pihak rumah sakit dalam melayani hak pasien.
  8. Kekecewaan terhadap dokter dan tenaga paramedis membuat pasien yang mampu berobat ke luar negeri. Kepercayaan yang ditanamkan pasien terhadap dokter secara perlahan memulai terkikis. Padahal kepercayaan merupakan unsur utama dalam hubungan dokter dengan pasien. Bila pasien sudah tidak percaya, maka pasien akan mencari dokter lain dan bagi yang mampu memilih berobat ke luar negeri. Selain biaya yang lebih murah, mereka pun lebih percaya pada dokter asing. Sungguh merupakan pukulan telak bagi dunia kedokteran dan perumahsakitan di tanah air. Masyarakat / pasien semakin kritis dan berani menyuarakan pendapatnya. Terbukti saat ini semakin banyak tuntutan kepada dokter dan pihak rumah sakit atas dugaan malapraktik. Berbagai isu tentang malapraktik muncul di media massa.
Untuk keberlanjutan dan kesinambungan program pelayanan kesehatan masyarakat, perlu dirumuskan dalam suatu strategi atau kebijakan yang memperhatikan peluang dan ancaman yang dihadapi serta kekuatan dan kelemahan organisasi yang dimiliki, diperlukan sistem manajemen mutu yang komprehensif dan manajemen keluhan yang efektif. Manajemen keluhan pelanggan komprehensif adalah cara yang efektif untuk mengatasi keluhan pelanggan sebagai alat dan konsep dari total quality management.
Manajemen keluhan adalah program pelayanan konsumen. Peran dari program pelayanan pelanggan adalah menangani keluhan perorangan dan menganalisis kumpulan keluhan. Fungsi penanganan keluhan didesain untuk mencoba memperbaiki dengan segera ketidakpuasan pelanggan. Tujuh langkah manajemen keluhan yang didasarkan oleh Deming Cycle adalah (1) dokumentasikan keluhan pelanggan, (2) terjemahkan dalam masalah dan kebutuhan pelanggan, (3) analisis dan pecahkan masalah, (4) manfaatkan kebutuhan konsumen, (5) perbaharui cara menganalisis dampak kegagalan, (6) sampaikan solusi kepada pelanggan, dan (7) perbaharui sistem pengukuran kinerja.
Manajemen mutu sangat dinamis, perlu selalu dikembangkan dan melibatkan seluruh jajaran tanpa kecuali, upaya peningkatan mutu tidak pernah berhenti tetapi selalu berkelanjutan sesuai dengan perkembangan iptek, tatanan nilai dan tuntutan masyarakat serta lingkungannya, maka komitmen, keterlibatan dan dukungan yang konkrit dari seluruh jajaran, terutama unsur pimpinan sangatlah penting. Kriteria mutu pada bidang jasa pelayanan kesehatan, sangat beragam sesuai dengan emosional needs pelanggan dan yang harus menjadi fokus perhatian kita bahwa mutu yang kurang baik pada bidang jasa ini, tidak bisa ditarik atau dibatalkan. Spesifikasi dalam dimensi mutu atau kinerja yang diterapkan dalam proses yang benar dan dikerjakan dengan baik akan dapat memberikan kepuasan pelanggan.
Dengan adanya manajemen keluhan, bila pasien atau konsumen tidak puas atas pelayanan yang diberikan maka kemungkinan terjadi keluhan. Penyampaian keluhan dapat dilakukan secara tertulis atau lisan kepada pihak pemberi pelayanan. Sehingga terjadi umpan balik (feedback) yang akan memberikan informasi kepada organisasi pelayanan kesehatan mengenai kebutuhan konsumen dan persepsi tentang karakteristik pelayanan yang diberikan. Hal ini akan mempunyai implikas terhadap strategi pemasaran kemudian dikembangkan dan diarahkan kepada konsumen karena konsumen akan belajar dari pengalaman dan pola pengumpulan informasi dan evaluasi pelayanan (persepsi). Pengalaman konsumsi secara langsung akan berpengaruh apakah konsumen akan menggunakan ulang jasa pelayanan.

Minggu, 18 Oktober 2009

TERBATASNYA TENAGA KESEHATAN DAN DISTRIBUSI TAK MERATA SEBAGAI PERMASALAHAN PEMBANGUNAN KESEHATAN



Indonesia mengalami kekurangan hampir pada semua jenis tenaga kesehatan yang diperlukan. Pada tahun 2001, diperkirakan dari 100.000 penduduk baru dapat dilayani oleh 7.9 dokter umum, 2 dokter gigi, 2.86 dokter spesialis dan 25.91 bidan. Untuk tenaga kesehatan masyarakat per 100.000 penduduk baru dilayani oleh 1.27 sarjana kesehatan masyarakat, 3.42 apoteker , 3.22 ahli gizi, dan 1.39 tenaga sanitasi. Produksi perawat setiap tahun 40.000 dengan rasio tehadap jumlah penduduk 1:2.850 dan produksi bidan setiap tahun sekitar 6oo bidan dengan rasio jumlah penduduk 1:2।600. dari hal di atas dapat dilihat bahwa rasiotenaga kesehatan dengan jumlah penduduk masih rendah.

Penyebaran SDM kesehatan belum menggembirakan. Untuk kawasan bagian barat jauh lebih tinggi dibandingkan kawasan Indonesia timur. Selain itu, tidak meratanya distribusi tenaga kesehatan menyebabkan terjadinya ketimpangan antara perkotaan dan pedesaan, bahkan sekitar 25-40% Puskesmas tidak mempunyai dokter, khususnya di daerah dengan geografis sulit seperti di kawasan timur Indonesia dan daerak rawan konflik.

Oleh karena itu sangat perlunya perencanaan yang matang untuk tenaga kesehatan, yaitu proses estimasi terhadap jumlah SDM kesehatan berdasarkan tempat, keterampilan / pendidikan, dan perilaku yang dibutuhkan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Secara garis besar perencanaan kebutuhan tenaga kesehatan dan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok besar:

1. Perencanaan kebutuhan SDM pada tingkat institusi seperti; rumah sakit, puskesmas, poliklinik, dan lain-lain.

2. Perencanaan kebutuhan SDM pada tingkat wilayah

3. Perencanaan kebutuhan SDM kesehatan untuk bencana.

Dalam perencanaan SDM kesehatan perlu memperhatikan hal-hal berikut; (1) Rencana kebutuhan SDM kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan kesehatan, baik lokal, nasional, maupun global. (2) Pendayagunaan SDM kesehatan diselenggarakan secara merata, serasi, seimbang, dan selaras oleh pemerintah, masyarakat dan dunia usaha baik di tingkat pusat maupun daerah. (3) Penyusunan perencanaan mendasar pada sasaran nasional. (4) pemilihan metode perhitungan kebutuhan SDM kesehatan didasarkan pada kesesuaian metode dengan kemampuan dan keadaan daerah masing-masing.

Selain itu untuk menghadapi tantangan dan masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang tanggung jawab dan otoritas kesehatan antara pemerintah pusat dan daerah. Di antaranya adalah;

· Undang-undang No.6 tahun 1963 menyatakan bahwa Depkes mempunyai wewenang dalam mengatur, mengarahkan, serta mengawasi pegawai kesehatan dalam menjalankan tugasnya.

· PP No.32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan

· UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah

· PP No.8 tentang organisasi perangkat Daerah

· KepMenkes No.850/MENKES/SK/V/2000 tentang kebijakan pengembangan tenaga kesehatan tahun 2000-2010

· KepMenkes No.004/MENKES/SK/I/2003 tentang kebijakan dan strategi desentralisasi bidang kesehatan

· KepMenkes No.1457/MENKES/SK/X/2003 tentang SPM bidang kesehatan di kab/kota.

Senin, 08 Juni 2009

TINJAUAN TERHADAP DESENTRALISASI DAN PEMASARAN SOSIAL PADA BIDANG KESEHATAN


Dalam konteks pelaksanaan kebijakan desentralisasi kesehatan di Indonesia, faktor yang tidak pasti adalah keinginan pemerintah daerah dan pemerintah pusat untuk menjalankan desentralisasi dengan sepenuh hati. Dengan menggunakan kedua kemungkinan tersebut ada 4 skenario yang mungkin: Skenario 1, adalah situasi dimana pemerintah pusat bersemangat untuk melaksanakan desentralisasi, berusaha melaraskan struktur organisasinya dengan pemerintah daerah, dan pemerintah daerah bersemangat pula untuk melakukannya. Skenario 2: terjadi situasi dimana pemerintah pusat (khususnya Departemen Kesehatan) cenderung ingin sentralisasi, sementara pemerintah daerah berada dalam sistem yang semakin desentralisasi; Skenario 3: Pemerintah pusat tidak berkeinginan melakukan desentralisasi di bidang kesehatan. Demikian pula pemerintah daerah. Akibatnya terjadi perubahan UU (amandemen UU 32/2004) sehingga kesehatan menjadi kembali menjadi sektor yang sentralisasi; dan Skenario 4: Pemerintah pusat (Departemen Kesehatan dan DPR) berubah menjadi bersemangat untuk de-sentralisasi, namun pemerintah daerah tidak mau.

Penerapan desentralisasi kesehatan mempunyai sisi kelemahan yaitu pihak eksekutif dan législatif di daerah, dominan menentukan anggaran kesehatan dari pemerintah pusat yang dimasukkan dalam APBD. Artinya penggunaan anggaran, termasuk dana kesehatan, dikompromikan tergantung kebutuhan. Padahal desentralisasi kesehatan sebenarnya merupakan kesempatan bagi daeah. Artinya masalah-masalah di daerah dapat ditangani dan dikoordinasikan lebih cepat, terarah, dan tepat sasaran dari yang dibutuhkan masyarakat

Desentralisasi menjadi penyebab menurunnya tingkat koordinasi di tingkat Dinas Kesehatan di daerah. "Sebagai contoh wabah kolera yang terjadi di suatu daerah, sampai akhirnya kekurangan obat. Dalam hal ini Dinas Kesehatan daerah tidak langsung melaporkan keberadaan kasus tersebut ke Menteri Kesehatan. Akhirnya Bupati yang langsung meminta ke Menkes. Padahal kalau kekurangan obat cepat dilaporkan ke pusat, penanganan bisa dilaksanakan lebih cepat.

Dengan adanya kebijakan desentralisasi kesehatan maka pemasaran kesehatan sangat diperlukan untuk mempengaruhi pihal lain agar dapat menerima kebijakan tersebut yaitu adanya partnership (kemitraan) dan policy (kebijakan). Pada prinsipnya, praktik pemasaran sosial tak ada artinya apabila kemitraan tidak dijadikan tujuan organisasi. Demikian pula tak ada artinya upaya mengubah perilaku melalui pemasaran sosial apabila tidak diikuti atau dilanjutkan dengan upaya mendorong tersusunnya sebuah kebijakan. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan yang mengatur akses terhadap informasi pasien untuk tujuan pemasaran baik internal maupun eksternal. Salah satu pendekatan untuk mengembangkan kebijakan ini adalah dengan advokasi kepada direksi yang berwenang

Selain itu kita bersikaplah proaktif dalam proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penggunaan informasi pasien dan ikuti perkembangan mengenai hukum dan peraturan yang berkaitan dengan hal pemasaran dan permintaan kesehatan

Pemasaran itu sendiri terdiri dari tiga unsur utama, yaitu unsur strategi persaingan, taktik pemasaran dan nilai pemasaran. Strategi persaingan berkaitan dengan segmentasi pasar, targeting dan positioning. Taktik pemasaran terdiri dua hal, yaitu diferensiasi dan bauran promosi. Adapun nilai pemasaran berkaitan dengan brand atau merk dari produk yang bersangkutan. Oleh karena itu faktor – faktor yang mempengaruhi organisasi pelayanan kesehatan harus dipikirkan dengan cermat dan penuh perencanaan, tempat pelayanan kesehatan diminta segera mulai meningkatkan kemampuan dan pengetahuan dalam memasarkan pelayanan kesehatan untuk mencapai maksimal keuntungan yang tinggi tetapi dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

Strategi pemasaran sosial kesehatan seperti peningkatan sarana dan prasarana kesehatan di Puskesmas, sosialisasi informasi pelayanan kesehatan (tenaga kesehatan), strategi penentuan harga (penetapan harga yang terjangkau, peningkatan kualitas pelayanan kesehatan। Hal ini memerlukan kerjasama antar penyedia jasa pelayanan maupun penyedia jasa pelayanan dengan konsumen (pasien) yang baik agar langkah atau pelayanan yang diberikan sebagai suatu produk dapat berhasil dengan cara memperkuat jaringan, menyelesaikan birokrasi program guna memuluskan produk serta mengadakan pendekatan kepada pathner dan sasaran target baik secara informal maupun formal।

Oleh karena itu diperlukan manajemen yang mampu melakuakan tugas-tugas denagan baik dalam melakuakan pemasaran jasa, perencanaan strategi dan pelaksanaan pelayanan kesehatan, penentuan harga, promosi dan distribusi dari gagasan, barang dan jasa untuk membuat suatu pertukaran yang memuaskan individu atau tujuan organisasi dapat tercapai seperti akses pelayanan kesehatan masyarakat di rumah sakit dan puskesmas, harus juga memberikan kepuasan kepada konsumen jika menginginkan usahanya berjalan terus, atau konsumen mempunyai pandangan yang lebih baik terhadap organisasi dan manajemen penyedia jasa pelayanan kesehatan